Rabu, 18 Juni 2008

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

Minggu, 20 April 2008 07:55:22 - oleh : I Nyoman Pasek


PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

(PROBLEM BASED LEARNING)






I. RASIONAL

Belajar pada dasarnya dalah proses yang bermakna untuk mencapai kompetensi atau kecakapan hidup (life skill). Kecakapan hidup merupakan kebutuhan setiap orang, karena itulah belajar merupakan kegiatan untuk membentuk, mengembangkan dan menyempurnakan kecakapan hidup. Hanya mereka yang memiliki kecakapan hiduplah yang akan dapat bertahan dalam hidupnya dan menjadikan hidupnya lebih bermakna. Makna kehidupan terjadi dalam konteksnya, oleh karena itulah pelajaran akan menjadi bermakna bila dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata siswa.

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran (content) dengan situasi dunia nyata siswa (context) dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan tenaga kerja. Pembelajaran kontekstual dilandasi oleh premis bahwa makna belajar akan muncul dari hubungan antara konten dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada konten (Johnson, 2002).

Ada berbagai cara untuk mengaitkan konten dengan konteks, salah satunya adalah melalui pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Model ini juga dikenal dengan nama lain seperti project based teaching, experienced based education, dan anchored instruction (Ibrahim dan Nur, 2004). Pembelajaran ini membantu siswa belajar isi akademik dan keterampilan memecahkan masalah dengan melibatkan mereka pada sistuasi masalah kehidupan nyata.

Pembelajara berbasis masalah diturunkan dari teori bahwa belajar adalah proses dimana pembelajar secara aktif mengkontruksi pengetahuan (Gijselaers, 1996). Psikologi kognitif modern menyatakan bahwa belajar terjadi dari aksi pembelajar, dan pengajaran hanya berperan dalam memfasilitasi terjadinya aktivitas kontruksi pengetahuan oleh pembelajar. Guru harus memusatkan perhatiannya untuk membantu pembelajar mencapai keterampilan self directed learning.

Problem based learning sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat memenuhi keperluan ini (Schmidt, dalam Gijselaers, 1996). Masalah-masalah disiapkan sebagai stimulus pembelajaran. Pembelajar dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, dan guru hanya berperan memfasilitasi terjadinya proses belajar dan memonitor proses pemecahan masalah.

Dalam masyarakat pendidikan sains tampaknya ada semacam kesepakatan bahwa pemahaman sains perlu ditingkatkan pada fungsi efektifnya dalam masyarakat demokratis untuk memecahkan masalah-masalah seperti, keseimbangan industri dan lingkungan, penggunaan energi nuklir, kesehatan dan lain-lain (Gallaher, et al, 1995). Oleh karena itu pendidikan sains tidak hanya ditujukan untuk pemahaman konten dan proses sains, tetapi juga memahami dampak sains pada masyarakat. Menghadapkan pembelajar pada masalah-masalah nyata sehari-hari merupakan salah satu cara mencapai tujuan ini. Allen, Duch, dan Groh (1996) mengemukakan pertimbangan penerapan PBL dalam pendidikan sain seperti berikut.

Dalam PBL siswa belajar dalam kelompok kecil kooperatif (Cooperative small group). Penggunaan kelompok kerja kooperatif membantu perkembangan masyarakat belajar dalam kelas sains. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat bila siswa belajar dalam lingkungan belajar kooperatif. Bekerja dalam kelompok juga membantu mengembangkan karakteristik esensial yang yang dibutuhkan untuk suskes setalah siswa tamat belajar seperti dalam berkomunikasi secara verbal, berkomunikasi secara tertulis dan keterampilan membangun team kerja.

Kontekstual. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa memperoleh pengetahuan ilmiah dalam konteks dimana pengetahuan itu digunakan. Siswa akan mempertahankan pengetahuannya dan menerapknanya dengan tepat bila konsep-konsep yang mereka pelajari berkaitan dengan penerapannya. Dengan demikian pembelajar akan menyadari makna dari pengetahuan yang mereka pelajari.

Belajar untuk belajar (learningf to learn). Pengetahuan ilmiah, berkembang secara eksponential, dan siswa perlu belajar bagaimana belajar dan dalam waktu yang sama mempraktekkan kerja ilmiah melalui karier mereka. Pembelajaran berbasis masalah membantu pembelajar mengidentifikasi informasi apa yang diperlukan, bagaimana menata informasi itu kedalam kerangka konseptual yang bermakna, dan bagaimana mengkomunikasikan informasi yang sudah tertata itu kepada orang lain.

Doing Science. Pembelajaran berbasis masalah menyediakan cara yang efektif untuk mengubah pembelajaran sains abstrak ke konkrit. Dengan memperkenalkan masalah-masalah yang relevan pada awal pembelajaran, guru dapat menarik perhatian dan minat pembelajar dan memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar melalui pengalaman.

Bersifat interdisiplin. Penggunaan masalah untuk memperkenalkan konsep juga menyediakan mekanisme alamiah untuk menunjukkan hubungan timbal balik antar mata pelajaran. Pendekatan ini menekankan integrasi prinsip-prinsip ilmiah.



II. PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING)



A. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahin dan Nur,2004) telah mendeskripsikan karaketeristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.

Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan disekitar prinsip-prinsip atau keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk sitausi itu.

Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

Penyelidikan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswa untuk melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan

Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.

Kerjasama. Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.



B. Prinsip-Prinsip dalam Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah secara khusus melibatkan siswa bekerja pada masalah dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima orang dengan bantuan asisten sebagai tutor. Masalah disiapkan sebagai konteks pembelajaran baru. Analisis dan penyelesaian terhadap masalah itu menghasilkan perolehan pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah. Permasalahan dihadapkan sebelum semua pengetahuan relevan diperoleh dan tidak hanya setelah membaca teks atau mendengar ceramah tentang materi subjek yang melatarbelakangi masalah tersebut. Hal inilah yang membedakan antara PBL dan metode yang berorientasi masalah lainnya.

Tutor berfungsi sebagai pelatih kelompok yang menyediakan bantuan agar interaksi siswa menjadi produktif dan membantu siswa mengidentifikasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Hasil dari proses pemecahan masalah itu adalah, siswa membangun pertanyaan-pertanyaan (isu pembelajaran) tentang jenis pengatahuan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah? Setelah itu, siswa melakukan penelitian pada isu-isu pembelajaran yang telah diidentifikasi dengan menggunakan berbagai sumber. Untuk ini siswa disediakan waktu yang cukup untuk belajar mandiri. Proses PBL akan menjadi lengkap bila siswa melaporkan hasil penelitiannnya (apa yang dipelajari) pada pertemuan berikutnya. Tujuan pertama dari paparan ini adalah untuk menunjukkan hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dengan masalah yang ada ditangan siswa. Fokus yang kedua adalah untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan transfers pengetahuan baru. Setelah melengkapi siklus pemecahan masalah ini, siswa akan memulai menganalisis masalah baru, kemudian diikuti lagi oleh prosedur: analisis- penelitian- laporan.



C. Tujuan dan Hasil Belajar

Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. PBL dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan memecahan masalah dan keterampilan intelektual, belajar berbagi peran orang dewasa melalui pelibatan mereka pada pengalaman nyata, mengembangkan keterampilan belajar pengarahan sendiri yang efektif (effective self directed learning) (Barraws; 1996: Ibrahim dan Nur, 2004).



Keterampilan Berpikir dan Keterampilan Memecahkan Masalah

Pembelajaran berbasis masalah ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak sama dengan keterampilan yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku rutin. Larson (1990) dan Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004) menguraikan cirri-ciri berpikir tingkat tinggi seperti berikut.

- tidak bersifat algoritmik (noalgoritmic), yakni alur tindakan tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya.

- Cenderung kompleks, keseluruihan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang.

- Seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian, dari pada yang tunggal.

- Melibatkan pertimbangan dan interpretasi.

- Melibatkan banyak kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain.

- Seringkali melibatkan ketidakpastian. Tidak selalu segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas diketahui.

- Melibatkan pengaturan diri (self regulated) tentang proses berpikir.

- Melibatkan pencarian makna menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur.

- Berpikir tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja mental besar, besaran saat melakukan elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.

Keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi ini dapat diajarkan (Costa, 1985). Kebanyakan program dan kurikulum dikembangkan untuk tujuan ini amat mendasarkan pada pendekatan yang serupa dengan pembelajaran berbasis masalah ( Ibrahim dan Nur, 2004).



Pemodelan Peranan Orang Dewasa

Resnick ( Ibrahim dan Nur, 2004) mengemukakan bahwa bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan adalah:

- PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.

- PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga siswa secara bertahap dapat memahami peran yang diamati tersebut.

- PBL melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femahamannya tentang fenomena itu.



Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)

Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada siswa. Siswa harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, dibawah bimbingan guru (Barrows, 1996). Dengan bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak (Ibrahim dan Nur, 2004).



D. Landasan Teoretik PBL

Temuan-temuan dari psikologi kognitif menyediakan landasan teoretis untuk meningkatkan pengajaran secara umum dan khsususnya problem based learning (PBL). Premis dasar dalam psikology kognitif adalah belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan baru yang berdasarkan pada pengetahuan terkini. Mengikuti Glaser (1991) secara umum diasumsikan bahwa belajar adalah proses yang konstruktif dan bukan penerimaan. Proses-proses kognitif yang disebut metakognisi mempengaruhi penggunaan pengetahuan, dan faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi pembelajaran. Berdasar pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran yang berkaitan dengan PBL.

Prinsip 1. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan. Pembelajaran tradisional didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah penuangan pengetahuan kekepala siswa. Kepala siswa dipandang sebagai kotak kosong yang siap diisi melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan informasi oleh siswa pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan. Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer panggil(call number) yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur asosiatif. Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan semantik. Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan dipanggil.

Prisip 2. Knowing About Knowing (metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila siswa mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996). Metakognisi dipandang sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi juga penggunaan metode pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan metokognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil pemecahan masalah masuk akal?

Prinsip 3. Faktor-faktor Kontekstual dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip ketiga ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan siswa untuk memahami pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses pemecahan masalah merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan penyampaian pengetahuan oleh guru kepada siswa, kemudian disertai dengan pemberian tugas-tugas berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan. Namun studi-studi menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan serius dalam menggunakan pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa pendidikan tradisional tidak memfasilitasi peningkatan pemahaman masalah-maslah fisika walaupun secara formal diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990).

Jika tujuan pembelajaran adalah mengajarkan siswa untuk menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah dunia nyata, bagaimana seharusnya pembelajaran itu dilakukan? Mandl, Gruber, dan Renkl (1993) menyarankan empat cara yaitu: pengajaran harus diletakan dalam konteks situasi pemecahan masalah kompleks dan bermakna; pengajaran harus dipusatkan pada pengajaran keterampilan metakognitif dan bilamana mengunnakannya; pengetahuan dan keterampilan-keterampilan harus diajarkan dari perspektif yang berbeda dan diterapkan pada setiap situasi yang berbeda; belajar harus berlangsung dalam situasi kerjasama untuk mengkonfrotasikan keyakinan yang dipegang oleh masing-masing individu. Strategi ini dilandasi oleh dua model yang saling melengkapi cognitive apprenticeship dan anchored instruction. Kedua model ini menekankan bahwa pengajaran harus terjadi dalam kontek masalah dunia nyata atau parktek-praktek professional.

Faktor sosial juga mempengaruhi belajar individu. Glaser (1991) beralasan bahwa dalam kerja kelompok kecil pembelajar mengekspose pandangan alternatif adalah tantangan nyata untuk mengawali pemahaman. Dalam kelompok kecil pembelajar akan membangkitkan metode pemecahan masalah dan pengetahuan konseptual mereka. Mereka menyatakan ide-ide dan membagi tanggung jawab dalam memanage situasi masalah. Bruning, Schraw, dan Ronning (1995) menyatakan bahwa pengajaran sain sangat efektif bila hakikat sosial pembelajaran diterima dan digunakan untuk membantu siswa memperoleh pemahaman ilmiah secara akurat.

Bertolak dari prisnip-prinsip pembelajaran di atas, pembelajaran berbasis masalah dapat ditelusuri melalui tiga aliran pemikiran pendidikan yaitu: Dewey dan Kelas Demokratis: Konstruktivisme Viaget dan Vygotsky, Belajar Penemuan Bruner (Ibrahim dan Nur, 2004).



Dewey dan Pembelajaran Demokratis

Pembelajaran berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim & Nur, 2004). Dalam demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Ilmu mendidik Dewey menganjurkan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial. Dewey juga menyatakan bahwa pembelajaran disekolah seharusnya lebih memiliki manfaat dari pada abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan mereka sendiri.



Konstrukivisme Piaget dan Vygotsky

Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan diatas pandangan konstruktivis –kognitif (Ibrahim dan Nur, 2004). Pandangan ini banyak didasarkan teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget pengetahuan adalah konstruksi(bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang (Suparno, 1997). Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi terus berevolusi. Pengetahuan tumbuh dan berkembang pada saat pembelajar menghadapi pengalaman baru. Pengalaman baru ini memaksa mereka untuk membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Setiap pengetahuan mengandalkan suatu interaksi dengan pengalaman. Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak tidak dapat mengkonstruksi pengetahuannya.

Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini (Ibrahim & Nur, 2004). Untuk memperoleh pemahan individu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki.

Piaget memandang bahwa tahap-tahap perkembangan intelektual individu dilalui tanpa memandang latar konteks sosial dan budaya individu. Sementara itu, Vygotsky memberi tempat lebih pada aspek sosial pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi social dengan orang lain mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual pembelajar. Implikasi dari pandangan Vygotsky dalam pendidikan adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui iteraksi sosial dengan guru dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari guru atau teman sejawat yang lebih mampu, siswa bergerak ke dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru terjadi (Ibrahim dan Nur, 2004).



Bruner dan Belajar Penemuan

Bruner adalah adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar kognitif. Ia telah mengembangkan suatu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh yang disebut dengan belajar penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar

penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk pemecahan masalah dan pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna ( Dahar, 1998).

Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperopleh pengetahuan. Perlunya pembelajar penemuan didasarkan pada keyakinan bahwa pembelajaran sebenarnya melalui penemuan pribadi.



E. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran Berbasis Masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dari guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Secara singkat kelima tahapan pembelajaran PBL adalah seperti pada Tabel 1 berikut.



Tabel 1. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah


Tahap
Tingkah Laku Guru

Tahap 1

Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Guru mendiskusikan rubric asesmen yang akan digunakan dalam menilai kegiatan/hasil karya siswa

Tahap 2

Mengorganisasikan siswa untuk belajar


Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap 3

Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap 4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagintugas dengan temannya.

Tahap 5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan


(diadaptasi dari Ibrahim dan Nur, 2004)




F. Asesmen Pembelajaran Berbasis Masalah

Mengintgat perhatian pembelajaran berbasis masalah tidak hanya pada perolehan pengetahuan deklaratif, maka tugas-tugas asesmen untuk PBL tidak dapat semata-mata teridri dari tes kertas dan pensil (pencil and paper test). Kebanyakan teknik asesmen dan evaluasi yang digunakan untuk PBL adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil penyelidikan/hasil kerja mereka. Seperti pada model pembelajaran kontekstual lainnya, bentuk asesmen PBL terdiri dari asesmen kinerja dan portofolio.

Berbeda dengan penilaian tradisional (paper dan pencil test). Penetapan kriteria penilaian tugas-tugas kinerja/ hasil karya harus dilakukan pada awal-awal pembelajaran dan harus dapat dikerjakan oleh siswa (Fottrell, 1996). Kriteria penilaian itu harus didiskusikan terlebih dahulu bersama siswa di kelas. Diskusi ini meliputi berapa grade yang harus mereka capai dan siapa yang akan menilai mereka (guru, siswa, atau ahli luar). Mendiskusikan rubric pada awal-awal kegiatan akan membuat proyek atau tugas-tugas masalah lebih konrit bagi siswa dan membantu mereka untuk berpikir dan mendiskusikan ide-ide yang diperlukan.



III. CONTOH RENCANA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH



Contoh 1. Pembelajaran Berbasis msalah untuk SMA



RENCANA PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS

(PROBLEM BASED PHYSICS LEARNING)



(Pembelajaran Radioaktivitas Dalam Kontek Kesehatan/Biologi)





Pertemuan I

A. Pengajar menyampaikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai.

Kompetensi Dasar:

Menerapkan konsep-konsep radioaktivitass untuk membahas permasalahan dan manfaat sehari-hari yang berkaitan dengan bahaya zat radioaktif.


Indikator

1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan sifat-sifat radiasi pengion seperti alpha, gamma, beta, sinar x, dan proton

2. Mahasiswa dapat menjelaskan satuan dosis dalam radiasi pengion.

3. Mahasiswa dapat menjelaskan efek biologis (efek somatic dan efek genetic) radiasi pengion pada manusia.

4. Mahasiswa dapat merancang penelitian sederhana untuk mengetahui dosis komultaif yang diterima oleh para petugas radioterapi.

5. Mahasiswa dapat mengembangkan suatu cara protekdi radiasi untuk mengurangi efek bilogis radiasi pengion pada para petugas radioterapi.

B. Orientasi Pada Masalah dan Tugas

Kepada mahasiswa disampaikan masalah sebagai berikut.

Radiasi selalu menjadi faktor penting di dalam lingkungan mahluk hidup. Sumber-sumber radiasi alam termasuk dalam kategori ini, seperti sinar kosmik, aktivitas angkasa, dan pengaruh radioisotof. Di dalam masyarakat kita, sumber-sumber radiasi buatan manusia sekarang merupakan suatu komponen yang berhampiran dengan dosis lingkungan. Bagian ini dapat bertambah dengan penggunaan reaktor inti dan kemajuan tingkat perawatan medik ….. Salah satu kegiatan yang melibatkan radiasi pengion adalah radioterapi. Radioterapi dengan sinar X, sinar gamma atau isotop radioaktif pada hakekatnya bergantung pada energi yang diabsorpsi baik secara efekfotolistrik maupun efek Compton yang menimbulkan ionisasi pada jaringan. Dan sebagai akibat ionisasi ini terjadi kelainan atau kerusakan pada jaringan, akibat dari radiasi pengion ini disebut efek biologis.



Petugas radioterapi hampir setiap hari berurusan dengan radioterapi. Resiko akan terkena efek radiasi bagi petugas radioterapi sangatlah besar. Pada kenyataannya mereka yang memilih bidang ini sangat sedikit sehingga di rumah sakit-rumah sakit biasanya tenaga ini sangat terbatas.keterbatasabn tenaga ini menyebabkan pelayanan masyarakat akan terhambat. Dapat diduga bahwa keterbatasan ini sebagian disebabkan oleh kehawatiran orang akan resiko yang dihadapi pada pekerjaan ini. Sebagai seorang yang belajar fisika anda tentu dapat memberi penjelasan secara ilmiah dan berdasarkan bukti-bukti empiris bahwa kekhawatiran itu tidak perlu terjadi, sehingga minat orang terhadap pekerjaan ini meningkat. Lakukanlah penelitian sederhana untuk memecahkan masalah di atas.



C. Membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 orang, untuk mendikusikan masalah diatas. Diskusi difokuskan pada pencarian informasi terutama konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut, dimana informasi diperoleh, apa dan siapa yang menjadi sumber informasi?

D. Membibing dan mengarahkan siswa pada sumber informasi (buku, majalah, jurnal, narasumber, sample pekerja radioterapi, rumah sakit dll). Meminta siswa untuk mengidentifikasi konsep-konsep apa yang telah dimiliki siswa dan konsep apa yang perlu dicari/dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut.



PERTEMUAN II



A. Siswa belajar konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan dengan berbagai cara; eksperimen, diskusi kelompok.

B. Menugaskan masing-masing kelompok untuk membuat proposal pemecahan masalah di atas. Proposal yang dibuat harus mencakup: latar belakang masalah, perumusan masalah, kajian pustaka yang mencakup konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika yang diperlukan untuk memecahkan masalah di atas, dan metode penelitian.



E. Self directed learning. Memberi waktu 1 minggu pada mahasiswa untuk mendiskusikan proposal tersebut dirumah atau diluar kelas.



PERTEMUAN III

Diskusi dan Konsultasi Proposal

1. Siswa mempresentasikan proposalnya sekitar 15 menit tiap proposal.

2. Guru memberikan arahan secara garis besar terhadap proposal yang dibuat siswa.

3. Siswa melakukan perbaikan seperlunya

4. (Work Based Learning). Guru menugaskan mahasiswa untuk memulai penelitian lapangan dalam waktu 2 minggu. Dan melaporkan hasil penelitiannya.

Laporan hendaknya memuat: Pendahuluan; Kajian Pustaka; Metodologi Penelitian; Hasil Penelitian dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran



Selanjutnya mahasiswa melakukan penelitian lapangan ke rumah sakit-rumah sakit yang memiliki radioterapi. Untuk ini mahasiswa diberi waktu 2 minggu.



PERTEMUA IV:

Konsultasi dan bimbingan kelompok. Guru menyediakan bimbingan yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas laporan.



PERTEMUAN V

Penyajian laporan/hasil karya.

Tiap kelompok diberikan kesempatan untuk memaparkan hasil karya mereka di depan kelas dalam bentuk seminar. Masing-masing kelompok diberi waktu 20 menit.





ASSESSMENT



Assessmen meliputi paper and pencil test dan penilain rancangan penelitian, laporan, dan presentasi hasil.

1. Paper and Penci test untuk mengukur penguasaan konsep-konsep dan prinsip-prinsip keradioaktifan.

2. Proposal dan Laporan dinilai dengan rubrics yang telah ditetapkan

3. Presentasi hasil penelitian.



UMPAN BALIK

Laporan penelitian yang telah diperiksa dan diberi komentar positif dikembalikan kepada mahasiswa.





















Contoh 2: Untuk tingkat SMP/SMA



RENCANA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

Pembelajaran Arus Listrik Bolak-Balik dalam Konteks Teknologi

Masyarakat dan Lingkungan



PERTEMUAN I



A. Pengajar menyampaikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai.



Kompetensi Dasar:

Menerapkan konsep-konsep Arus Bolak-Balik (alternating Current) untuk membahas permasalahan dan manfaat sehari-hari yang berkaitan dengan pembangkait tenaga listrik.



Indikator

1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan prinsip kerja generator arus bolak-balik.

2. Mahasiswa dapat mendeskripsikan persamaan arus bolak-balik

3. Mahasiswa mampu menganalisis rangkaian RLC

4. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep arus rata-rata, tegangan rata-rata, dan daya desipasi rata-rata.

5. Merancang instalasi listrik sederhana di rumah tangga.

6. Menjelaskan keuntungan dan kerugian menggunakan lampu pijar dan lampu lampu gas neon sebagai penerangan rumah tangga.

7. Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip arus bolak-balik untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengoperasian generator pembangkit tenaga listrik.



B. Orientasi Pada Masalah dan Tugas



Siswa dihadapkan pada permasalahan sebagai berikut.







Kontroversi Pembangunan PLTGU Desa Pemaron



Pembangunan PTGU) di desa pemaron telah menimbulkan kontroversi dimasyarakat. Sebagian masyarakat menolak kehadiran PLTGU dengan berbagai alasan misalnya: kehadiran PLTGU akan merusak lingkungan sekitar, menimbulkan asap yang dapat merusak kesehatan penduduk sekitarnya, menimbulkan kebisingan, kabel-kabel tegangan tinggi akan sangat mengganggu keselamatan, paralatan elektronik di lingkungan sekitar, kesehatan penduduk sekitarnya, dan tidak sesuai dengan tata ruang Kab Buleleng, dll. Sementara sebagian masyarakat menerimanya dengan berbagai alsan misalnya dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Buleleng, menyerap banyak tenaga kerja, dapat mengatasi kekurangan tenaga listrik, mempe

kirim ke teman | versi cetak




Berita "Pendidikan" Lainnya
Belajar dan Pembelajaran, adalah Yadnya.
Kaedah Pembelajaran Koperatif

Loading.Komentar Pengunjung
1. Tentang artikel
Ip : 125.162.126.146
Selasa, 17 Juni 2008 13:25:54 - Oleh : Usmar
Kami menyampaikan terimakasih kepada penulis yang telah memberikan pencitraan tentang pendekatan pembelajaran ini, semoga dengan artikel ini akan memperkaya dan menambah wawasan kami untuk melaksanakan praktik mengajar di kelas




Name :
Email :
Comment Title :
Comment :
Security Code :
Type Code :

Tidak ada komentar: